yg tinggal di Purwosari Pasuruan
hp 085235807140
- Jangan mencuci dengan sabun detergen.
- Jangan mencuci memakai sikat atau digosok.
- Jangan mencuci dengan mesin cuci
- Jangan semprot parfum secara langsung terutama batik sutra
- Mencuci menggunakan sabun pencuci khusus untuk batik
- Mencuci menggunakan buah lerak, daun nilam atau sari merang bakar
- Mencuci menggunakan sampo rambut
- Bila batik tidak terlalu kotor, mencucinya cukup rendam pada air hangat tidak perlu dicuci dengan sabun batik.
- Jika benar-benar kotor ada noda, bisa dhilangkan dengan sabun mandi atau kulit jeruk.
- Saat menjemur, tarik bagian tepi batik secara perlahan supaya serat yang terlipat akan kembali ke posisi semula.
- Hindari menyetrika batik secara langsung. Sebaiknya pada waktu menyetrika, diatas kain dilapisi kertas. Apabila terpaksa menyetrika batik secara langsung, setrika jangan terlalu panas.
- Jika tampak kusut, semprotkan sedikit air diatasnya, letakkan sehelai alas kain diatas batik, baru disetrika, terutama untuk batik halus, batik sutra
- Apabila ingin memberi pewangian / pelembut, jangan langsung, sebaiknya dilapisi kertas koran, baru disemprotkan, terutama batik sutra.
- Menjemur ditempat teduh, hindari sinar matahari langsung supaya warna tidak cepat pudar.
- Simpan batik kesayangan anda dalam plastik, supaya tidak dimakan ngengat.
- Hindari pemberian kapur barus.
- Supaya tidak dimakan ngengat, beri sedikit merica/ lada dalam bungkus kain / tisu atau akar wangi kering yang sebelumnya telah diproses dengan merendam di air panas.
Mangkunegara IV
Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.
Sembah raga
ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal
perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan
sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut:
“Sembah
raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking
warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton”
Sembah raga,
sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan
hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon
pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap
awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.
Sembah
raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun
bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku
selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan
seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian
yang lebih tinggi.
Sembah Cipta, kadang-kadang disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut :
“Samengkon
sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku agung kang kagungan
narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang kang momong”
Apabila cipta
mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang
tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati, maka sembah cipta di sini
mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau
angan-angan. Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk
membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan
pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai
pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).
Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat. Pertama, membersihkan hadats dan najis
yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan anggota badan dari berbagai
pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang
tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani
dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah taharah pada Nabi
dan Shiddiqin. Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis
yang melekat di badan yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan
oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan
kotoran yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan
menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah
yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan
membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja
yang selain Allah.
Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh.
Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari
dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat
pada bait berikut:
“Samengko
kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring Hyang Sukma
suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing jiwa sutengong”
Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku
(pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan
hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air
wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan
menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut:
“Sayekti
luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang tumrap
bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama amota”
Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku)
dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata
cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah
dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu
dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan
sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek
jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.
Pelaksanaan sembah jiwa
ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap
aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang
hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu.
Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil
digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar
gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah
perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang
terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait
berikut:
"Ruktine
ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung
lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono."
Sembah rasa
ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan
kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati
dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian
menurut Mangkunegara IV.
Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa
berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat
batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling
halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).
Dengan
demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah
alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.
Pelaksanaan sembah rasa
itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga
sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan
batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:
“Semongko
ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping catur / sembah rasa karasa
wosing dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan kasing bato”.
Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku),
maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan
suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk.
Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan
di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang
salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka.
Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu
gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri
melakukan sembah rasa.
Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa
sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah
memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup
ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya
sendiri.
Di sini,
dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa
menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal
utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras
dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga,
sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak
dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik
harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin
dan kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas
tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung
pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut:
“Iku
luwih banget gawat neki / ing rar’asantang keneng rinasa / tan kena
ginurokake / yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang ening /
sungapan ing lautan / tanpa tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng
sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya”.
* Sumber
http://blogkejawen.blogspot.com/p/mangkunegara-iv.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar